Kegunaan Kayu Jati

Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu
Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang luas.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama yang berbentuk garden furniture (mebel taman).

Fungsi Non-Ekonomis Hutan Jati Jawa
Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, dan cagar alam.

Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut adalah sebagai berikut:

Fungsi Penyangga Ekosistem
Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh air.

Fungsi Biologis
Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan.

Fungsi Sosial
Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

0 comments:

Post a Comment